(Bagian 4/Penutup)
Mengapresiasi Sumberdaya Budaya
Pada tema bahasan pertama tergambar sesungguhnya bagaimana warga masyarakat Banjar sangat kurang mengapresiasi elemen budaya material nenek moyangnya sendiri. Generasi baru warga masyarakat Banjar tidak lagi secara mendalam meresapi dan memahami pentingnya model-model saluran air seperti anjir, handil, saka, antasan dan tatah. Parahnya lagi semakin banyak saja generasi baru ini tidak lagi mengenali dan mengerti elemen budaya material nenek moyangnya itu. Akibatnya adalah tidak terpikirkan samasekali bagaimana budaya itu dipelihara apalagi dikembangkan. Minimnya kesadaran dan perhatian terjadi baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya.
Saluran-saluran air yang selama berabad-abad menjadi tulang punggung terselenggaranya aktivitas pertanian dan pelayaran, bahkan dapat dikatakan menjadi awal terbentuknya kompleksitas kehidupan masyarakat mulai memperlihatkan ketidak berdayaannya. Kebijakan yang dijalankan selama ini jelas tidak berpihak pada upaya pembangunan dan pengembangan saluran air nenek moyang. Oleh pemerintah pembangunan yang dijalankan, terutama sejak pemerintahan Orde Baru lebih beroirentasi darat, sama sekali tidak berpihak ke sektor perairan sesuai dengan kondisi lingkungan Kalimantan Selatan.
Terbukti bahwa semakin banyak saja saluran air seperti di kota Banjarmasin yang sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana sediakala. Saluran itu kini telah menjadi parit (selokan) pembuangan berbagai jenis limbah. Keadaannya semakin mengenaskan sehingga slogan “kota seribu sungai” telah sampai saatnya berubah menjadi “kota seribu selokan yang mampet”
Pada tema bahasan kedua dan ketiga, baik bubuhan versus papadaan maupun gawi sabumi versus kayuh baimbai, kesemuanya merupakan elemen budaya non material masyarakat Banjar. Kesemuanya dalam bentuk gagasan dengan kadar nilainya masing-masing yang hanya bisa dirasakan, diresapi dan disikapi oleh setiap warga masyarakat Banjar. Nilai itu dapat berubah atau bergeser bergantung kepada kemana masyarakat penganutnya menghendaki perkembangannya.
Artinya, nilai budaya yang dikandung di dalam masing-masing elemen budaya itu dapat pula dipilih, dipertahankan, dan dikembangkan guna menyesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya. Apakah misalnya masyarakat akan memilih mengembangkan konsep bubuhan di dalam kondisi masyarakat sekarang ini semakin terkotak-kotak, dalam kelompok-kelompok yang berpotensi sebagai pemicu terjadinya konflik? Atau, sebaliknya di dalam masyarakat yang sudah terkotak-kotak ini justeru diperlukan elemen budaya yang dapat menjembataninya. Dalam kaitan ini, konsepsi papadaan mungkin saja cukup alasan untuk dikembangkan. Hal yang sama juga mungkin konsep kayuh baimbai akan lebih cocok dikembangkan di dalam zaman modern ini.
Singkatnya kemudian, bahwa elemen-elemen budaya sebagaimana telah dipaparkan merupakan sumberdaya budaya pada masyarakat Kalimantan Selatan (Banjar) yang seharusnya diapresiasi secara terus menerus. (Bambang Subiyakto, Banjarbaru 2005)
Tinggalkan komentar